Pluralisme dan
Pesan Kebangsaan
Pluralis
berasal dari bahasa latin plures yang
berarti beberapa dengan implikasi perbedaan. Sedangkan pluralisme adalah
pandangan filosofis yang tidak mau mereduksi segala sesuatu pada satu prinsip
terakhir, tetapi menerima adanya keragaman. Adalah negara kita yang beragam
namun memiliki satu visi yang sama yaitu pancasila. Sejujurnya, pluralisme yang
beredar kini telah membuka jalan lain, yang lebih luas dan kompleks yaitu
menyangkut agama. Menyangkut agama yang lebih dalam tentu akan membuat
perpecahan lantaran setiap individu pasti akan meyakini bahwa agama dirinya
yang benar. Dari sana mari kita melihat pengertian pluralisme dari berbagai
pakar.
Nurcholis
Madjid memaknai pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara
positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai sebuah
kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Menurut Alwi
Sihab ada empat pengertian tentang
pluralisme, namun di sini penulis menyoroti terminologi pluralime ketiga dari
Alwi Sihab yaitu doktrin agama apapun harus dinyatakan benar dan semua agama
adalah sama. Menurut sudut pandang bahasa pluralisme berasal dari kata plural
artinya banyak, dan isme yang berarti faham. Dalam konteks peradaban barat,
kata pluralisme berasal dari adat istiadat gereja pada abad-abad pertengahan. Para
pastor yang memiliki banyak kedudukan gerejani seperti pastor yang memiliki
kedudukan lain yaitu politisi dan berdagang disebut sebagai pluralis. Dalam
konteks kekinian, pluralisme memiliki makna yang lebih luas lagi baik dari segi
politis, filsafat, sosial, dll.
Nah,
berkaitan dengan keragaman konteks pluralisme, kini di negara tercinta Indonesia
ini, seakan dilanda satu terminologi tentang keragaman (pluralisme) yang
menakutkan. Terminologi tersebut menyatakan bahwa semua agama itu memiliki
hakikat kebenaran. Pernah adanya wacana agama akan dihilangkan dari KTP, penyebaran
paham agama baru yang longgar, dan takutnya ormas islam yang mengangkat tema
kekhilafah-an, seakan islam menjadi hal yang menakutkan untuk kemudian berjaya
di negeri ini, sedangkan kita melihat berita patung orang Tionghoa dengan
mudahnya diizinkan dipamerkan di pusat kota. Melihat kejadian-kejadian
belakangan ini, seakan Indonesia sedang menuju krisis pluralisme yang Bhineka
Tunggal Ika, tetapi juga mengesampingkan keadilan di pihak yang lainnya.
Arah
kebijakan yang makin terlihat mungkin harusnya menyadarkan diri kita pribadi,
membuka mata lebar sudah sampai mana iman ini tertanam. Mungkin juga dilain hal
ini ujian keimanan yang harus kita pertanyakan. Tentunya sebagai orang yang
beriman dan beragama islam tak mau agamanya disamakan dengan agama lain, sebab
menurut sejarah dan wahyuNya, islam diturunkan sebagai penyempuranaan dan
satu-satunya agama yang benar di sisi Allah SWT. “inna diina ingdallohil
islam”.
Melihat
kenyataan terminologi ketiga ini, barang tentu akan menjadi pusat perdebatan
yang panjang, dan mungkin akan menjadi indikasi adanya perpecahan dalam berbangsa
dan bernegara. Dalam hal ini, akan lebih baik memaknai kemajemukan atau
pluralisme dari segi keberagaman yang hakiki. Bahwa Tuhan telah menciptakan
manusia berbeda-beda untuk saling mengenal. Jika melihat sejarah Indonesia,
sangat luar biasa tokoh islam di era tersebut. Padahal jika kita melihat
perjuangan ulama-ulama saat itu sangat memungkinkan jika mereka menciptakan
peraturan dan pancasila sesuai Piagama Jakarta. Akan tetapi, sejarah tidak
memperlihatkan kehebaatan mereka dalam hal ini, karena mungkin sejarah telah
banyak mengalami pergeseran bahkan distorsi yang hanya memperlihatkan tokoh
tertentu. Maka tidak heran jika Pangliam
TNI Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa umat islam adalah garda terdepan pembela
NKRI, karena beliau melihat sejarah secara matang.
Tidak
ada yang menakutkan dari perbedaan, sebab perbedaan di negara ini justru
dilonggarkan sendiri oleh pemikir islam. Para pemikir islam memperlihatkan
kejeniusan dan toleransi terbesar lewat kemerdekaan Indonesia. Seharusnyalah,
umat lain merasa bangga karena bisa berdampingan dengan damai di negeri majemuk
ini dengan mayoritas islam. Mengingat di negara lain yang minoritas muslim
justru dihakimi seenaknya.
Memperbincangkan
pluralisme tentu menjadi hangat jika diperbincangkan di negeri ini, dan seakan
menjadi ancaman serius bagi kalangan konservatisme dan kalangan umat islam pada
umumnya karena anggapan awal yang menyatakan bahwa semua agama itu benar. Maka
pesan dari pluralisme kali ini justru kembali lagi pada pemeluk islam yang
cinta akan damai. Karena sejatinya islam datang dengan kedamaian maka tidak
seharusnya islam harus dihancurkan dengan keradikalan dan semena-mena.
Mengingat ada satu hadits yang mengatakan kehancuran islam justru karena
umatnya sendiri. Seakan menjadi noda tersendiri jika kita melihat berita orang
berniat berjihad dengan melakukan bom bunuh diri, memusuhi sesama islam karena
perbedaan fiqih, seakan setiap insan memiliki hak kebenaran yang hakiki. Di
negeri ini pancasila menjadi dasar dan ideologi yang sah. Bukan berarti kekhilafahan
itu tidak diimpikan, akan tetapi seandainya pancasila memang difahami dan
diamalkan sesuai isinya tidak ada satupun sila yang bertentangan dengan norma
keagamaan, terutama norma agama islam. Pluralisme kini harus disiasati dengan saling
toleransi, namun tetap berdakwah dan bertindak dengan mauidzotil hasanah. (Iis Siti Aisyah)
Tulisan ini juga dimuat di Tabloid Pendidikan Ganesha Kab. Ciamis Edisi 257 VOL VI/ Agustus 2017.