Bagaimana agar Indonesia memiliki generasi emas di tahun 2045? Pertanyaan ini, seharusnya bukan hanya ditujukan untuk pemerintah, tetapi seluruh warga negara Indonesia. Apalagi murid-murid kita adalah generasi penerus bangsa yang memiliki perjalanan panjang dalam mengisi kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Sudahkah generasi kita memiliki pribadi unggul yang memiliki motivasi pada dirinya untuk belajar, bertanggung jawab, dan memiliki keinginan yang kuat? Jika belum, bagaimana kita memimpikan Indonesia emas di tahun 2045?
Sudah waktunya, kita menuntun kodrat anak dan memberikan pilihan kepada anak untuk memilih jalan hidupnya. Menuntun anak sesuai dengan nilai-nilai kebajikan universal inilah yang akan memberikan banyak jalan kebaikan untuk menyadarkan anak bahwa kesadaran penuh ada pada dirinya, bukan pada orang lain.
Pada kesempatan ini, saya akan membagikan enam hal terkait budaya positif yang bisa kita pelajari bersama.
1. Disiplin Positif dan Nilai Kebajikan Universal
Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi intrinsik pada murid-murid kita yaitu untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Ketika murid-murid kita memiliki motivasi tersebut, mereka telah memiliki motivasi intrinsik yang berdampak jangka panjang, motivasi yang tidak akan terpengaruh pada adanya hukuman atau hadiah.
Adapun definisi kata ‘merdeka’ menurut Ki Hajar adalah: mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya; tidak hanya terlepas dari perintah; akan tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).
Dengan menanamkan disiplin positif, murid akan menumbuhkan motivasi dari dalam dirinya dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya yang dilandasi kemerdekaan (pilihan dirinya sendiri).
2.Teori Hukuman, Konsekuensi, dan Restitusi
Hukuman hanya akan membentuk identitas gagal, konsekuensi akan membentuk paksaan, dan restitusi akan membentuk keyakinan pada dirinya. Untuk membentuk disiplin positif, seharusnya guru memberikan ruang kepada peserta didik untuk memilih dan memutuskan nilai apa yang seharusnya dia pegang. Dengan begitu anak akan memahami secara mendalam nilai-nilai yang sudah menjadi pilihannya, sehingga dapat menjadi nilai-nilai yang bisa dipegang sampai murid itu dewasa.
3. Keyakinan Kelas
Setelah guru mampu memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai universal, dan memahami teori restitusi, saatnya memberikan pilihan-pilihan pada murid dalam menentukan nilai-nilai apa yang akan disepakati di dalam kelas. Langkah ini sangat penting agar disiplin positif bisa muncul dari dalam diri murid atas keyakinannya sendiri. Dengan begitu teori restitusi pun bisa diaplikasikan dalam pembuatan keyakinan kelas ini.
4. Lima Kebutuhan Dasar Manusia dan Hidup Berkualitas
Setelah memahami nilai-nilai kebajikan universal dan sudah membuat keyakinan kelas saatnya kita memahmi bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan dasarnya. Murid yang bermasalah, biasanya karena kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi. Apa saja lima dasar kebutuhan manusia itu?
Permasalah yang timbul pada murid kita, biasanya dari lima kebutuhan dasar di atas. Guru sebaiknya memahami kebutuhan dasar apa yang belum terpenuhi dari murid yang bermasalah.
5. Lima Posisi Kontrol
Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang- orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:
“Patuhi aturan saya, atau awas!”
“Kamu selalu saja salah!”
“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.
Pembuat Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:
“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.
Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
Pemantau: Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau.
Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya apa?”
“Apa yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi atau konsekuensinya apa?”
Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
Manajer:
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer
akan berkata:
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah kamu meyakininya?”
“Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.
Dari penjelasan dan contoh di atas, hendaknya guru mampu atau berada pada posisi kontrol manajer karena sesuai dengan teori kontrol restitusi.
6. Segitiga Restitusi
Setelah memahami posisi kontrol manajer, saatnya memahami langkah apa saja yang harus dilakukan guru saat berhadapan dengan murid yang bermasalah. Segitiga restitusi adalah dialog atau diskusi yang dilaksanakan guru untuk mencari solusi yang memiliki prinsip membentuk identitas gagal menjadi identitas sukses. Dengan penerapan segitiga restitusi diharapkan murid mampu meyadari kesalahan dari dalam dirinya dan bertanggung jawab sepenuhnya sesuai dengan keyakinan kelas yang dibuat.
Adapaun segitiga restitusi adalah sebagai berikut:
Rajadesa, 2024